Tujuh Duka Santa Perawan Maria

| |

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
dari: KEMULIAAN MARIA RISALAT IX

Dukacita Maria

Dukacita Pertama: Nubuat Nabi Simeon
Dukacita Kedua : Melarikan Yesus ke Mesir
Dukacita Ketiga : Hilangnya Yesus di Bait Allah
Dukacita Keempat: Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus saat Ia Menjalani Hukuman
Mati
Dukacita Kelima : Yesus Wafat
Dukacita Keenam : Lambung Yesus Ditikam dan Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib
Dukacita Ketujuh: Yesus Dimakamkan


Nubuat nabi Simeon
Dalam lembah airmata ini, setiap manusia dilahirkan untuk menangis, dan semua harus menderita, dengan menanggung kemalangan-kemalangan yang adalah peristiwa sehari-hari. Tetapi, alangkah jauh lebih hebatnya penderitaan hidup ini, andai saja kita mengetahui terlebih dahulu kemalangan-kemalangan yang menanti kita! “Betapa malangnya, sungguh, betapa berat penderitaan dia,” kata Seneca, “yang mengetahui kemalangan yang akan datang, sebab ia harus menderita semuanya sementara menanti.” Kristus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita dalam hal ini. Ia menyembunyikan pencobaan-pencobaan yang menanti kita, sehingga, apa pun pencobaan itu, kita akan menanggungnya sekali saja. Namun demikian, Kristus tidak menunjukkan belas kasihan yang sama terhadap Bunda Maria; sebab dialah yang dikehendaki Tuhan menjadi Ratu Dukacita, dan seperti Putranya, dalam segala hal ia senantiasa telah melihat terlebih dahulu di depan matanya dan dengan demikian terus-menerus menanggung segala sengsara dan penderitaan yang menantinya; penderitaan-pernderitaan itu adalah Sengsara dan Wafat Yesusnya yang terkasih; seperti di Bait Allah Nabi Simeon, sementara menatang Kanak-kanak Yesus dalam tangannya, menubuatkan kepada Maria bahwa Putranya akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan… untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus jiwanya, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”

Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St. Matilda bahwa pada saat menerima nubuat Nabi Simeon ini, “segala sukacitanya berubah menjadi dukacita.” Sebab, seperti dinyatakan kepada St. Teresa, meskipun Bunda Maria telah mengerti bahwa hidup Putranya akan dikurbankan demi keselamatan dunia, namun demikian ia melihat secara lebih jelas dan lebih detail sengsara dan wafat keji yang menanti Putranya yang malang. Ia tahu bahwa Putranya akan ditolak dalam segala hal. Ditolak dalam ajaran-ajaran-Nya; bukannya dipercaya, Ia malahan dianggap seorang penghujat dengan mengajarkan bahwa Ia adalah Putra Allah; hal ini dimaklumkan oleh Kayafas yang kejam dengan mengatakan, “Ia menghujat Allah. Ia harus dihukum mati!” Ia ditolak dalam status-Nya; Ia seorang bangsawan, bahkan keturunan raja, tetapi dipandang rendah sebagai rakyat jelata, “Bukankah Ia ini anak tukang kayu?” “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?” Ia adalah kebijaksanaan itu sendiri, tetapi diperlakukan sebagai orang dungu, “Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!” Dianggap sebagai nabi palsu, “Lalu mulailah beberapa orang meludahi Dia dan menutupi muka-Nya dan meninju-Nya sambil berkata kepadanya: `Hai nabi, siapakah yang memukul Engkau?'” Ia diperlakukan sebagai orang yang tidak waras, “Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” Sebagai seorang peminum, pelahap dan sahabat orang-orang berdosa, “Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.” Sebagai tukang sihir, “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” Sebagai seorang kafir dan kerasukan setan, “Bukankah benar kalau kami katakan bahwa Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?” Singkat kata, Yesus dianggap amat cemar karena kejahatan-Nya, hingga, seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi kepada Pilatus, pengadilan tak diperlukan lagi untuk menjatuhkan hukuman mati atas-Nya, “Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!” Ia ditolak bahkan dalam jiwa-Nya yang terdalam; oleh sebab Bapa-Nya yang Kekal, demi Keadilan Ilahi, menolak-Nya dengan tidak mengindahkan doa-Nya ketika Ia berdoa, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Bapa-Nya membiarkan Dia dalam keadaan takut, gelisah dan sedih; hingga Tuhan kita yang sengsara berseru, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” dan sengsara batin-Nya itu mengakibatkan-Nya meneteskan keringat darah. Ditolak dan dianiaya, pada tubuh-Nya dan sepanjang hidup-Nya; Ia dianiaya di seluruh anggota tubuh-Nya yang kudus, pada tangan-Nya, kaki-Nya, wajah-Nya, kepala-Nya dan sekujur tubuh-Nya; hingga dengan darah-Nya tercurah habis dan sebagai sasaran olok-olok dan makian, Ia wafat penuh sengsara di atas salib yang hina.

Ketika Daud, di tengah segala kenikmatan dan kemuliaan kerajaannya, mendengar dari Nabi Natan bahwa puteranya harus mati, “Pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati,” ia tidak dapat tenang, melainkan meratap, berpuasa dan berbaring di tanah. Bunda Maria dengan ketenangan yang luar biasa menerima nubuat bahwa Putranya harus mati, dan ia senantiasa berserah diri dalam damai akan hal itu; tetapi alangkah hebat dukacita yang harus terus-menerus dideritanya, melihat Putranya yang menawan ini selalu ada di dekatnya, mendengar dari-Nya sabda-sabda kehidupan kekal dan menyaksikan perilaku-Nya yang kudus! Abraham berduka luar biasa selama tiga hari yang ia lewatkan bersama puteranya, Ishak yang terkasih, setelah mengetahui bahwa ia harus kehilangan puteranya itu. Ya Tuhan, bukan selama tiga hari, melainkan tigapuluh tiga tahun lamanya Bunda Maria harus menanggung dukacita serupa. Serupa, kataku? Tidak, melainkan jauh lebih dahsyat, oleh sebab Putra Maria jauh lebih menawan daripada putera Abraham. Bunda Maria sendiri menampakkan diri kepada St Brigitta, mengatakan bahwa semasa di dunia, tak satu detik pun terlewatkan tanpa dukacita ini mengiris jiwanya. “Seringkali,” kata Bunda Maria, “saat aku memandangi Putraku, saat aku membedung-Nya dalam kain lampin, saat aku mengamati tangan dan kaki-Nya, begitu sering jiwaku larut, demikianlah, dalam dukacita yang pedih, karena pemikiran bagaimana Ia akan disalibkan kelak.” Abbas Rupert merenungkan Bunda Maria menyusui Putranya dan berkata tentang-Nya, “Buah hatiku bagaikan sekantong mur bagiku; Ia akan tinggal di antara buah dadaku.” Ah, Putraku, aku mendekap-Mu dalam pelukanku, sebab Engkau-lah jantung hatiku; tetapi semakin Engkau kukasihi, semakin Engkau menjadi sekantung mur dan dukacita bagiku apabila aku memikirkan sengsara-Mu. “Bunda Maria,” kata St Bernardinus dari Siena, “mencerminkan kekuatan para kudus yang diperas dalam penderitaan; keindahan Firdaus yang hilang pesonanya; Tuhan atas dunia yang diperlakukan sebagai penjahat; Pencipta segala sesuatu yang hitam lebam karena pukulan dan deraan; Hakim atas semua yang dijatuhi hukuman mati; Kemuliaan Surgawi yang dihinakan; Raja segala raja yang dimahkotai duri dan diperlakukan sebagai raja olok-olok.”

Pastor Engelgrave menceritakan, dinyatakan kepada St Brigitta bahwa Bunda yang berduka telah mengetahui Putranya harus menderita sengsara, “saat menyusui-Nya, terbayanglah empedu dan cuka; saat membedung-Nya, terbayanglah tali-tali yang akan membelenggu-Nya, saat membuai-Nya dalam pelukan, terbayanglah salib di mana Ia akan dipakukan; saat melihat-Nya tertidur lelap, terbayanglah kematian-Nya.” Setiap kali mengenakan pakaian pada-Nya, terpikirlah oleh Bunda Maria bahwa akan tiba harinya di mana pakaian akan ditanggalkan dari tubuh-Nya, bahwa Ia akan disalibkan; dan apabila ia memandangi tangan dan kaki-Nya yang kudus, ia membayangkan paku-paku yang suatu hari nanti akan dipalukan menembusinya; dan, seperti yang dikatakan Bunda Maria kepada St Brigitta, “mataku bersimbah airmata, dan hatiku didera dukacita.”

Para penginjil menulis bahwa sementara Yesus Kristus bertambah besar, Ia juga “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Karena Yesus makin dikasihi manusia, betapa terlebih lagi Ia makin dikasihi Bunda-Nya Maria! Tetapi, ya Tuhan, sementara kasih bertambah dalam hatinya, betapa dukacita jauh lebih bertambah karena bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji; dan semakin dekat saat sengsara Putranya, semakin dalam pedang dukacita, seperti yang dinubuatkan Nabi Simeon, menembus hati Bunda-Nya. Hal ini secara tepat diungkapkan oleh malaikat kepada St Brigitta, “Pedang dukacita itu setiap detik semakin mendekati Santa Perawan sementara saat sengsara Putranya semakin dekat.”

Oleh sebab Yesus, Raja kita, dan Bunda-Nya yang Terkudus, tidak menolak, demi kasih kepada kita, untuk menderita sengsara yang demikian kejam sepanjang hidup mereka, maka pantaslah jika kita, sekurang-kurangnya, tidak mengeluh jika harus menderita sesuatu. Yesus yang tersalib, suatu ketika menampakkan diri kepada Sr Magdalena Orsini, seorang biarawati Dominikan yang telah lama menderita karena suatu pencobaan berat. Yesus memberinya semangat untuk tetap, dengan sarana penderitaannya itu, bersama-Nya di salib. Sr Magdalena menjawab dengan mengeluh, “Ya Tuhan, Engkau menderita sengsara di atas salib hanya selama tiga jam saja, sementara aku menanggung sengsaraku selama bertahun-tahun.” Sang Penebus kemudian menjawab, “Ah, jiwa yang bodoh, apakah yang engkau katakan? sejak saat pertama perkandungan-Ku, Aku menderita dalam hati-Ku segala yang kelak Aku derita sementara Aku meregang nyawa di atas salib.” Maka, jika kita juga menderita dan mengeluh, marilah kita membayangkan Yesus dan Bunda-Nya Maria, sambil mengucapkan kata-kata yang sama kepada diri kita sendiri.


TELADAN

Pastor Roviglione dari Serikat Yesus bercerita tentang seorang pemuda yang memiliki devosi setiap hari mengunjungi patung Bunda Dukacita, di mana Bunda Maria digambarkan dengan tujuh pedang menembusi hatinya. Pemuda malang ini suatu malam melakukan dosa berat. Keesokan harinya, saat mengunjungi Bunda Maria seperti biasanya, ia memperhatikan bahwa bukan lagi tujuh, melainkan delapan pedang yang menembusi hati Bunda Maria. Ia masih tercengang ketika didengarnya suara yang mengatakan bahwa dosanya telah menambahkan pedang kedelapan. Hal itu begitu menyentuh hatinya. Diliputi sesal mendalam, ia segera mengakukan dosanya dan dengan perantaraan Pembelanya ia dipulihkan kembali dalam keadaan rahmat.


DOA

Ya, Bunda Maria, bukan hanya sebilah pedang saja yang aku tikamkan pada hatimu, melainkan aku menikamkannya sebanyak dosa-dosa yang aku lakukan. Ah Bunda, bukan engkau yang tanpa dosa yang seharusnya menanggung segala derita itu, melainkan aku, yang bersalah atas begitu banyak dosa. Tetapi oleh karena engkau senantiasa rela hati menderita begitu banyak demi aku, ya Bunda, demi jasa-jasamu, perolehkanlah bagiku rahmat sesal mendalam atas dosa-dosaku, dan ketekunan dalam menghadapi pencobaan-pencobaan hidup. Rahmat-rahmat itu akan senantiasa menjadi terang bagi segala kelemahan dan kekuranganku; oleh sebab aku seringkali lebih pantas mendapatkan neraka. Amin.

Melarikan Yesus ke Mesir
Bagaikan seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu bersamanya kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak panah yang telah melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah nubuat memilukan Nabi Simeon, seperti yang telah kita renungkan dalam dukacita pertama, Bunda Maria senantiasa membawa dukacita sertanya oleh karena kenangan terus-menerus akan sengsara Putranya. Hailgrino, menjelaskan baris bait ini, “Rambut di kepalamu, berwarna ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria; semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.

Sekarang marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang melukai Maria dalam melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. Herodes, mendengar bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, dalam kebodohannya, ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya dari kerajaan. St. Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan mengatakan, “Mengapakah engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang baru dilahirkan ini datang tidak untuk menaklukan raja-raja dengan pedang, melainkan menaklukkan mereka secara mengagumkan dengan wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar dari para Majus di mana sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera mencabut nyawa-Nya. Sadar bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar semua bayi yang didapati di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh. Sementara itu, malaikat menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” Menurut Gerson, St Yusuf segera, pada malam itu juga, menyampaikan perintah ini kepada Maria; dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai perjalanan mereka, seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir.” “Ya Tuhan,” demikian kata Beato Albertus Agung atas nama Maria, “Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang untuk menyelamatkan manusia?” Maka tahulah Bunda yang berduka bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Menyadari bahwa segera sesudah kelahiran-Nya Ia dikejar-kejar untuk dibunuh, tulis St Yohanes Krisostomus, betapa isyarat pengungsian yang kejam atas dirinya dan Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam hatinya, “Pergi dari para sahabat kepada orang-orang asing, dari Bait Allah ke kuil-kuil berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari penderitaan seorang bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada ibunya, dan ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi bersamanya?”

Siapa pun dapat membayangkan bagaimana Bunda Maria menderita dalam perjalanan ini. Jarak ke Mesir jauh. Sebagian besar penulis sepakat jaraknya kira-kira 300 mil, suatu perjalanan mendaki selama tigapuluh hari. Jalannya, menurut gambaran St Bonaventura, “tidak rata, tak lazim dan jarang dilewati.” Waktu itu musim dingin, jadi mereka harus berkelana dalam salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan yang becek dan licin. Maria seorang gadis muda belia berusia sekitar limabelas tahun yang lemah lembut, yang tak terbiasa dengan perjalanan yang demikian. Tak ada seorang pun menolong mereka. St Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf dan Maria tidak mempunyai baik pelayan laki-laki maupun perempuan; mereka sendirilah sekaligus majikan dan pelayan.” Ya Tuhan, pastilah sungguh menyentuh hati melihat Perawan yang lemah lembut, dengan Bayi yang baru lahir dalam pelukannya, berkeliaran di padang dunia! “Tetapi bagaimana,” tanya St Bonaventura, “mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi mereka? Adakah yang mereka makan selain dari sepotong roti keras, entah bekal yang dibawa St Yusuf atau yang diterimanya sebagai sedekah? Di manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian (teristimewa 200 mil padang pasir, di mana tidak ada baik rumah ataupun penginapan), selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan, rentan terhadap cuaca dan bahaya penyamun serta binatang buas, yang sangat banyak terdapat di Mesir. Ah, andai saja ada yang berjumpa dengan tiga pribadi terbesar di dunia ini, yang sudi memberi tumpangan kepada tiga pengelana miskin yang malang.”

Di Mesir, menurut Brocard dan Jansenius, mereka tinggal di daerah yang disebut Maturea; meskipun St Anselmus berpendapat bahwa mereka tinggal di kota Heliopolis, atau di Memphis, yang sekarang disebut Kairo kuno. Sekarang, marilah kita merenungkan kemiskinan sangat yang menurut St Antonius, St Thomas, serta yang lainnya, pastilah mereka alami selama tujuh tahun mereka di sana. Mereka adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun sanak saudara, semata-mata bertahan hidup dari perjuangan mereka yang gigih. “Karena mereka melarat,” kata St Basilus, “pastilah mereka berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Landolph dari Saxony lebih jauh menulis (dan biarlah hal ini menjadi penghiburan bagi kaum miskin), bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang sangat hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun untuk diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”

Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat, malaikat menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan memintanya kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan mengingat Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun, demikian menurut orang kudus ini, di mana, “Ia terlalu besar untuk digendong, tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa pertolongan.”

Gambaran akan Yesus dan Maria yang berkelana sebagai pengembara di dunia, mengajarkan kepada kita agar kita pun selayaknya hidup sebagai pengembara di dunia ini, lepas dari keterikatan terhadap barang-barang yang ditawarkan dunia; kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk memasuki keabadian, “Yang kita punyai sekarang bukanlah kota abadi, tetapi carilah kota abadi yang akan datang.” St Agustinus menambahkan, “Kalian adalah pengembara; kalian singgah, dan kemudian berlalu.” Hal ini juga mengajarkan kita untuk memeluk salib-salib kita, sebab tanpa salib kita tak dapat hidup di dunia ini. Beata Veronica da Binasco, seorang biarawati Agustinian, dibawa dalam roh untuk menemani Bunda Maria dan Bayi Yesus dalam perjalanan mereka ke Mesir; sesudahnya Bunda Allah mengatakan, “Puteriku, engkau telah melihat betapa dengan susah payah kami mencapai negeri ini; sekarang ketahuilah bahwa tak seorang pun menerima rahmat tanpa penderitaan.” Siapa pun yang berharap untuk merasakan penderitaan hidupnya lebih ringan, hendaknya menyertai Yesus dan Maria, “Ambillah Anak serta Ibu-Nya.” Maka segala beban derita terasa ringan, dan bahkan manis serta menyenangkan bagi dia, yang karena kasihnya menempatkan Putra dan Bunda dalam hatinya. Maka, marilah kita mengasihi Mereka; marilah kita menghibur Bunda Maria dengan menyambut dalam hati kita Putranya, yang bahkan hingga kini masih terus-menerus dianiaya oleh manusia dengan dosa-dosa mereka.


TELADAN

Santa Perawan suatu hari menampakkan diri kepada Beata Koleta, seorang biarawati Fransiskan, serta memperlihatkan kepadanya Bayi Yesus dalam sebuah buaian dalam keadaan terkoyak-koyak, dan mengatakan, “Beginilah para pendosa terus-menerus memperlakukan Putraku, memperbaharui kematian-Nya dan mengoyak hatiku dengan dukacita. Puteriku, berdoalah bagi mereka agar mereka bertobat.” Penampakan serupa dialami Venerabilis Joanna dari Yesus dan Maria, seorang biarawati Fransiskan juga. Suatu hari ia sedang merenungkan Bayi Yesus yang dianiaya Herodes ketika ia mendengar suara amat ribut, seakan-akan prajurit-prajurit bersenjata sedang mengejar seseorang; sekejap kemudian ia melihat di hadapannya seorang Anak yang sungguh elok paras-Nya, yang berlari terengah-engah sambil berseru, “O Joanna-Ku, tolonglah Aku, sembunyikanlah Aku! Aku Yesus dari Nazaret; Aku melarikan diri dari para pendosa yang hendak membunuh-Ku dan menganiaya-Ku seperti yang dilakukan Herodes. Sudikah engkau menyelamatkan Aku?”


DOA

Ya Bunda Maria, bahkan setelah Putramu wafat di tangan orang-orang yang menyiksa-Nya hingga tewas, orang-orang yang tak tahu berterima kasih ini belum juga berhenti menganiaya-Nya dengan dosa-dosa mereka dan terus-menerus mendukakan engkau, ya Bunda yang berduka! Dan, ya Tuhan, aku juga salah seorang dari mereka. Ah, Bundaku yang penuh kasih sayang, perolehkan bagiku airmata guna menangisi sikap tak tahu terima kasihku. Demi sengsara yang engkau derita selama perjalananmu ke Mesir, tolonglah aku dalam perjalanan yang aku lalui sekarang ini menuju keabadian; dengan demikian pada akhirnya aku akan dapat bersatu denganmu dalam mengasihi Juruselamat-ku yang teraniaya dalam Kerajaan Terberkati. Amin.

Hilangnya Yesus di Bait Allah
Rasul St Yakobus mengatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dengan ketekunan. “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” Kristus memberikan Santa Perawan Maria kepada kita sebagai teladan kesempurnaan, oleh sebab itu perlulah ia ditempa derita agar dalam dia kita dapat mengagumi ketekunannya yang gagah berani dan berusaha meneladaninya. Dukacita yang kita renungkan sekarang ini adalah penderitaan terdahsyat yang harus dialami Bunda Maria dalam hidupnya, kehilangan Putranya di Bait Allah.

Ia, yang terlahir buta, merasa menderita karena tak dapat melihat terang; tetapi ia, yang dulu biasa menikmati terang dan sekarang tak lagi dapat menikmatinya karena menjadi buta, merasa jauh lebih menderita. Demikian juga halnya dengan jiwa-jiwa yang malang, yang dibutakan oleh gemerlapnya dunia ini, hanya sedikit mengenal Tuhan, mereka menderita, tetapi sedikit saja, saat tak dapat menemukan-Nya. Tetapi, sebaliknya, ia yang diterangi oleh terang surgawi, telah menjadi layak karena kasih untuk menikmati kehadiran mesra yang Maha Pengasih. Ya Tuhan, betapa pahit dukacitanya apabila ia mendapati dirinya terpisah daripada-Mu! Sekarang, mari kita lihat betapa pastilah Bunda Maria menderita karena pedang dukacita ketiga yang menembus jiwanya, yaitu saat kehilangan Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari kehadiran-Nya yang amat mempesona, sementara ia biasa menikmatinya.

St Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan St Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun, Bunda Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa sepengetahuannya tinggal di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung menyadari hal itu, ia beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang lainnya. Setibanya di Nazaret, ia mencari Putranya, tetapi tidak mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke Yerusalem untuk mencari-Nya, dan setelah tiga hari barulah ia mendapatkan-Nya. Sekarang marilah kita merenungkan betapa gelisah Bunda yang berduka ini selama tiga hari sementara ia mencari-cari Putranya. Bersama pengantin dalam Kidung Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?” Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?” “Yesus-ku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa jantung hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-kata ini bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: `Di mana Allahmu?'” Sebab itu, Pelbart, bukan tanpa alasan mengatakan bahwa `pada malam-malam itu Bunda yang berduka tidak dapat memejamkan mata; terus-menerus ia meneteskan airmata, memohon dengan sangat kepada Tuhan agar Ia menolongnya menemukan Putranya.” Seringkali, selama masa itu, menurut St Bernardus, Bunda Maria memanggil Putranya dengan menggunakan kata-kata pengantin dalam bait ini, “Tunjukkanlah kepadaku, jantung hatiku, di mana engkau menggembalakan domba, di manakah engkau pada petang hari, agar aku segera pergi mencari.” Putraku, katakan di manakah Engkau berada, agar aku tak lagi berkeliling mencari Engkau dengan sia-sia.

Sebagian orang menegaskan, dan bukan tanpa alasan, bahwa dukacita ini bukan hanya salah satu yang terbesar, melainkan yang paling dahsyat dan paling menyakitkan dari yang lainnya. Sebab, pertama, Bunda Maria dalam dukacitanya yang lain, ada bersama Yesus: ia berduka saat Nabi Simeon menyampaikan nubuat kepadanya di Bait Allah; ia berduka dalam pengungsian ke Mesir, tetapi semuanya itu dilaluinya bersama Yesus. Tetapi, dalam dukacitanya yang ini, Bunda Maria berduka terpisah dari Yesus, bahkan tak tahu di mana Ia berada, “cahaya matakupun lenyap dari padaku.” Sebab itu, sambil menangis ia mengatakan, “Ah, cahaya mataku, Yesus terkasih, tidak lagi bersamaku; Ia jauh dariku dan aku tidak tahu kemanakah gerangan Ia pergi.” Origen mengatakan bahwa karena kasih sayang yang dilimpahkan Bunda Tersuci ini kepada Putranya, “ia menderita jauh lebih hebat atas kehilangan Putranya Yesus daripada yang pernah ditanggung para kudus manapun dalam perpisahan jiwa dari raganya.” Ah, betapa lamanya masa tiga hari itu bagi Maria; serasa tiga abad lamanya, dan seluruhnya kepahitan belaka, oleh sebab tak ada yang mampu menghiburnya. Dan siapakah yang dapat menghiburku, demikian katanya bersama Nabi Yeremia, siapakah yang dapat menenangkan hatiku, sebab Ia seorang, yang dapat melakukannya, berada jauh dariku dan karenanya mataku tak akan pernah cukup mencucurkan air mata. “Karena inilah aku menangis, mataku mencucurkan air; karena jauh dari padaku penghibur yang dapat menyegarkan jiwaku.” Dan bersama Tobit ia mengulang, “Adakah sukacita bagiku yang duduk dalam kegelapan dan tidak melihat cahaya surgawi?”

Alasan kedua, Bunda Maria, dalam semua dukacitanya yang lain, memahami benar bahwa alasannya adalah demi penebusan umat manusia, yaitu kehendak Allah; tetapi dalam dukacitanya yang ini, ia tidak memahami alasan hilangnya Putranya. “Bunda yang berduka,” kata Lanspergius, “bersedih hati atas tiadanya Yesus, sebab dalam kerendahan hatinya, ia menganggap dirinya tak pantas lagi untuk tetap tinggal bersama ataupun merawat-Nya di dunia ini dan menerima tanggung jawab atas harta pusaka yang luar biasa itu.” “Dan siapa tahu,” demikian pikirnya dalam hati, “mungkin aku tidak melayani-Nya seperti yang seharusnya; mungkin aku bersalah karena lalai, sebab itu Ia meninggalkanku.” “Mereka mencari-Nya,” kata Origen, “kalau-kalau sekiranya Ia telah meninggalkan mereka sama sekali.” Suatu hal yang pasti bahwa bagi jiwa yang mengasihi Tuhan, tak ada kesedihan yang lebih besar daripada takut mengecewakan-Nya.

Sebab itu, hanya dalam dukacita ini saja Bunda Maria mengeluh; secara halus ditegurnya Yesus setelah ia menemukan-Nya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Dengan kata-katanya ini Bunda Maria tidak bermaksud mencela Yesus, seperti dituduhkan oleh mereka yang sesat, melainkan hanya bermaksud mengungkapkan kepada-Nya kesedihan, karena kasihnya yang mendalam kepada-Nya, yang ia alami selama ketidakhadiran-Nya. “Bukan suatu celaan,” kata Denis Carthusian, “melainkan suatu protes kasih.” Singkat kata, pedang dukacita ini begitu kejam menembus hati Santa Perawan Tersuci. Beata Benvenuta, rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan Bunda Tersuci dalam dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar kerinduannya dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan Bayi Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati kehadiran Kanak-kanak yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia mohon pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya, agar dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan, “Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku.”

Dukacita Bunda Maria ini, pertama-tama, berguna sebagai penghiburan bagi jiwa-jiwa yang menderita, dan tak lagi menikmati, seperti dulu mereka menikmati, kehadiran mesra Tuhan mereka. Jiwa-jiwa demikian boleh menangis, tetapi sepantasnya mereka menangis dalam damai, seperti Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya; dan biarlah jiwa-jiwa itu menimba keberanian, dan bukannya takut bahwa Allah tak berkenan lagi kepada mereka; sebab Tuhan sendiri telah menegaskan keada St Teresa bahwa “tak seorang pun sesat tanpa mengetahuinya; dan tak seorang pun diperdaya tanpa ia sendiri menghendakinya.” Karenanya, jika Tuhan menarik diri dari suatu jiwa yang mengasihi-Nya, Ia tidak sungguh-sunggh meninggalkan jiwa; Tuhan seringkali menyembunyikam Diri dari suatu jiwa agar jiwa mencari-Nya dengan kerinduan yang lebih berkobar dan dengan cinta yang lebih bernyala-nyala. Tetapi, barangsiapa rindu bertemu Yesus, ia harus mencari-Nya, bukan di antara segala kenikmatan dan kesenangan duniawi, melainkan di antara salib-salib dan penyangkalan diri, seperti Bunda Maria mencari-Nya, “aku dengan cemas mencari Engkau,” demikian kata Bunda Maria kepada Putranya. “Jadi, aku belajar dari Maria,” kata Origen, “dalam mencari Yesus.”

Lagipula, di dunia ini Bunda Maria tidak mencari yang lain selain Yesus. Ayub tidak mengutuk ketika ia kehilangan segala miliknya di dunia: kekayaan, anak-anak, kesehatan, kehormatan, dan bahkan diturunkan dari tahta ke atas abu; tetapi karena Tuhan bersamanya, ia tetap menerima keadaannya. St Agustinus menyatakan, “ia telah kehilangan segala apa yang Tuhan berikan kepadanya, tetapi ia masih memiliki Tuhan Sendiri.” Betapa menyedihkan dan menderitanya jiwa-jiwa yang kehilangan Tuhan. Jika Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya selama tiga hari, betapa terlebih lagi selayaknya para pendosa menangis, mereka yang telah kehilangan rahmat Allah, dan kepadanya Tuhan mengatakan, “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu.” Inilah akibat dosa; dosa memisahkan jiwa dari Tuhan, “yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu.” Jadi, jika orang-orang berdosa memiliki segala kekayaan dunia, tetapi kehilangan Tuhan, maka segalanya, bahkan yang ada di dunia ini, menjadi sia-sia dan menjadi sumber penderitaan mereka, seperti diakui Salomo, “lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” Tetapi kemalangan terbesar dari jiwa-jiwa yang buta ini adalah, demikian menurut St Agustinus, “apabila mereka kehilangan kapak, pastilah mereka pergi mencarinya; apabila mereka kehiangan domba, pastilah mereka berusaha keras mencarinya; apabila mereka kehilangan binatang beban, mereka tak dapat beristirahat; tetapi ketika mereka kehilangan Tuhan mereka, yang adalah Yang Mahabaik, mereka makan, minum dan beristirahat.”


TELADAN

Dalam Surat-surat Tahunan Serikat Yesus dikisahkan bahwa di India, seorang pemuda meninggalkan kamarnya dengan maksud untuk berbuat dosa, ketika didengarnya suatu suara yang mengatakan, “Berhentilah! kemanakah engkau hendak pergi?” Ia melihat sekeliling dan tampaklah olehnya suatu gambar relief yang melukiskan Bunda Dukacita, sedang mengulurkan pedang yang ada di dadanya, katanya, “Ambillah pedang ini, lebih baiklah engkau menusukkannya ke hatiku daripada melukai Putraku dengan berbuat dosa yang demikian.” Mendengar kata-kata ini, pemuda itu merebahkan diri ke tanah, meledak dalam tangis, penuh sesal mohon pengampunan dari Tuhan dan Bunda Maria.


DOA

Ya Bunda Maria, mengapakah engkau menyiksa dirimu sendiri saat mencari Putramu yang hilang? Adakah karena engkau tidak tahu di mana Ia berada? Tidak tahukah engkau bahwa Ia ada dalam hatimu? Tidak tahukah engkau bahwa Ia menggembala di tengah-tengah bunga bakung? Engkau sendiri mengatakannya, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung.” Segenap pikiran dan kasih sayangmu, yang bersahaja, murni dan suci, adalah bunga-bunga bakung yang mengundang Mempelai Ilahi untuk tinggal dalam engkau. Ah, Bunda Maria, adakah engkau berkeluh-kesah karena Yesus, satu-satunya jantung hatimu? Berikanlah keluh-kesahmu kepadaku, dan kepada begitu banyak orang berdosa yang tidak mengasihi-Nya, dan yang telah kehilangan Dia karena menghina-Nya. Bundaku yang paling menawan, jika karena dosa-dosaku Putramu belum kembali pada jiwaku, sudilah engkau membantuku agar aku dapat menemukan-Nya. Aku yakin bahwa Ia akan ditemukan oleh mereka yang mencari-Nya, “TUHAN adalah baik bagi jiwa yang mencari Dia” Tetapi, ya Bunda, bantulah aku mencari-Nya seperti yang seharusnya. Engkaulah pintu masuk di mana semua orang dapat menemukan Yesus; melalui engkau, aku juga berharap dapat menemukan Dia. Amin.

perjumpaan dengan PuteraNya di Jalan salib

St Bernardinus mengatakan, agar dapat memperoleh gambaran betapa dahsyat dukacita Maria atas wafat Yesus, patutlah kita merenungkan betapa besar kasih sayang Bunda Maria yang dilimpahkannya kepada Putranya. Semua ibu merasakan penderitaan anak-anak mereka sebagai penderitaan mereka sendiri. Sebab itu, ketika wanita Kanaan memohon kepada Juruselamat kita agar membebaskan puterinya dari setan yang menyiksanya, ia mohon pada-Nya untuk berbelas kasihan kepadanya, sang ibu, daripada puterinya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Tetapi, adakah ibu yang mengasihi anaknya lebih dari Bunda Maria mengasihi Yesus? Ia adalah Putra tunggalnya, dibesarkan di tengah begitu banyak kesulitan hidup; seorang Putra yang paling menawan, dan mengasihi Bunda-Nya dengan kasih mesra; Putra, yang bukan saja Putranya, melainkan juga Tuhannya, yang telah datang ke dunia guna menyalakan dalam hati semua orang api kasih ilahi, seperti yang Ia Sendiri nyatakan, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan api itu telah menyala!” Marilah kita membayangkan betapa api telah Ia nyalakan dalam hati murni Bunda-Nya yang Tersuci, api kasih yang tidak seperti dari dunia ini. Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, kasih itu telah membuat hatinya dan hati Putranya menjadi satu. Leburnya antara Hamba dan Bunda, dengan Putra dan Allah, menciptakan dalam hati Maria api yang terdiri dari ribuan nyala api. Namun demikian, keseluruhan nyala api kasih ini kelak, pada saat sengsara, berubah menjadi lautan dukacita, seperti dinyatakan St Bernardinus, “andaikata segala derita sengsara di seluruh dunia dijadikan satu, masih tidak akan sebanding dengan dukacita Perawan Maria yang mulia.” Ya, sebab, seperti ditulis Richard dari St Laurentius, “semakin lemah lembut Bunda Maria mengasihi, semakin dalamlah ia terluka.” Semakin besar kasihnya kepada-Nya, semakin besar dukacitanya saat sengsara-Nya; teristimewa saat Ia berjumpa dengan Putranya, yang telah dijatuhi hukuman mati, memanggul salib-Nya ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Inilah pedang dukacita keempat yang kita renungkan pada hari ini.

Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa ketika saat sengsara Kristus semakin dekat, matanya senantiasa bersimbah airmata, sementara pikirannya tak lepas dari Putranya terkasih, yang akan terpisah darinya di dunia ini, dan bayangan akan sengsara yang segera tiba menyebabkannya diliputi ketakutan, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lihat, waktu yang ditetapkan sejak lama telah tiba, dan Yesus, dengan meneteskan airmata, mohon pamit dari Bunda-Nya sebelum Ia menyongsong maut. St Bonaventura, merenungkan Bunda Maria pada malam itu, mengatakan, “Engkau melewatkan malam-malam tanpa terlelap, dan sementara yang lain tertidur pulas, engkau tetap terjaga.” Pagi harinya, para murid Yesus Kristus datang kepada Bunda yang berduka, seorang memberitakan kabar, yang lain membawa kabar yang lain pula; namun semuanya kabar dukacita, membuktikan digenapinya nubuat Yeremia atasnya, “Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis, airmatanya bercucuran di pipi; dari semua kekasihnya, tak ada seorang pun yang menghibur dia.” Sebagian menceritakan kepadanya perlakuan keji terhadap Putranya di rumah Kayafas; yang lain, penghinaan yang Ia terima dari Herodes. Pada akhirnya - aku menghilangkan yang lainnya - St Yohanes datang dan mengabarkan kepada Bunda Maria bahwa Pilatus yang sangat tidak adil telah menjatuhkan hukuman mati disalib atas-Nya. Aku katakan Pilatus yang sangat tidak adil; sebab seperti perkataan St Leo, “Hakim yang tidak adil ini menjatuhkan hukuman mati atas-Nya dengan bibir yang sama yang memaklumkan bahwa Ia tidak bersalah.” “Ah, Bunda yang berduka,” kata St Yohanes, “Putramu telah dijatuhi hukuman mati, Ia telah pergi, memanggul salib-Nya sendiri ke Kalvari,” seperti yang kemudian dikisahkan orang kudus ini dalam Injilnya, “Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.” “Marilah, jika engkau berharap berjumpa dengan-Nya di tengah jalan yang akan dilewati-Nya, dan menyampaikan selamat tinggal.”

Bunda Maria pergi bersama St Yohanes, dan dari darah yang tercecer di tanah, ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda Maria kepada St Brigitta, “Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia telah lewat. Sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-Nya.” St Bonaventura menggambarkan Bunda yang berduka mengambil jalan pintas, menanti di sudut jalan agar dapat berjumpa dengan Putranya yang sengsara saat Ia lewat. “Bunda yang paling berduka,” kata St Bernardus, “berjuma dengan Putranya yang paling sengsara.” Sementara Bunda Maria menanti di sudut jalan, betapa banyak ia mendengar apa yang dikatakan orang-orang Yahudi, yang segera mengenalinya, segala kata yang menyudutkan Putranya terkasih, dan mungkin bahkan kata-kata yang mencela dirinya juga.

Sungguh malang, betapa adegan duka hadir di hadapannya! paku-paku, palu, tali, alat-alat yang mendatangkan maut bagi Putranya, semuanya di bawa mendahului-Nya. Dan betapa suara terompet yang memaklumkan hukuman mati bagi Putranya itu menyayat hatinya! Tetapi lihatlah, segala alat-alat hukuman mati, peniup terompet, dan para algojo, semuanya telah berlalu; ia mengangkat matanya dan melihat, ya Tuhan! seorang pemuda penuh berlumuran darah dan luka-luka dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebuah mahkota duri di sekeliling kepala-Nya, dan dua palang berat di pundak-Nya. Ia memandang pada-Nya, hampir-hampir tak mengenali-Nya, dan berkata bersama Yesaya, “dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.” Ya, sebab luka-luka, bilur-bilur dan gumpalan-gumpalan darah membuat-Nya tampak seperti seorang kusta: “kita mengira dia kena tulah” sehingga kita tak mengenali-Nya lagi, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.” Tetapi, kuasa cinta menyatakan-Nya kepadanya, dan segera setelah ia menyadari bahwa pemuda itu sungguh Putranya, ah betapa cinta dan ngeri menguasai hatinya! demikian dikatakan St Petrus dari Alcantara dalam meditasinya. Di satu pihak, Bunda Maria berhasrat memandang-Nya, namun, di pihak lain ia takut tak dapat menahan hatinya melihat pemandangan yang menyayat hati itu. Pada akhirnya, mereka saling memandang. Sang Putra menyeka gumpalan darah dari mata-Nya, seperti dinyatakan kepada St Brigitta, yang menghalangi penglihatan-Nya, dan memandang Bunda-Nya, dan Sang Ibunda memandang Putranya. Ah, lihatlah betapa dukacita yang pahit, bagaikan begitu banyak anak panah menancap serta menembusi kedua jiwa kudus yang penuh kasih itu. Ketika Margareta, puteri St. Thomas More berjumpa dengan ayahnya dalam perjalanan eksekusinya, ia hanya dapat berseru, “O ayah! Ayah!” dan jatuh pingsan di depan kaki ayahnya. Bunda Maria, berjumpa dengan Putranya dalam perjalanan-Nya ke Kalvari, tidak pingsan, tidak, seperti dikatakan Pastor Suarez, bahwa mestinya Bunda ini telah kehilangn akal; atau pun tewas. Namun demikian Tuhan melindunginya guna menanggung dukacita yang lebih dahsyat; walaupun ia tidak mati, dukacitanya cukup menyebabkannya mati seribu kali.

“Sang Bunda berhasrat memeluk Putranya,” demikian kata St Anselmus, “tetapi para prajurit mendorongnya ke samping dengan kejam dan memaksa Kristus yang menderita melangkah maju; dan Bunda Maria mengikuti-Nya. Ah, Santa Perawan, ke manakah gerangan engkau hendak pergi? Ke Kalvari. Yakinkah engkau bahwa engkau sanggup memandang Dia, yang adalah hidupmu sendiri, tergantung di salib?” Dan hidupmu akan tergantung di hadapanmu. “Ah, berhentilah Bunda-Ku,” kata St Laurentius Giustiniani atas nama sang Putra, “Ke manakah engkau hendak pergi? Dari manakah engkau datang? Jika engkau pergi ke mana Aku pergi, engkau akan tersiksa karena sengsara-Ku, dan Aku karena sengsaramu.” Namun, meskipun menyaksikan Putranya Yesus yang meregang nyawa akan mengakibatkan dukacita yang dahsyat, Bunda Maria yang penuh kasih tak mau meninggalkan-Nya: sang Putra melangkah maju, sementara Bunda mengikuti, agar juga dapat disalibkan bersama Putranya, seperti dikatakan Abbas William, “sang Bunda juga memikul salibnya dan mengikuti Dia untuk disalibkan bersama-Nya.” “Kita bahkan menaruh belas kasihan kepada binatang-binatang liar,” tulis St Yohanes Krisostomus, “melihat seekor induk singa menyaksikan anaknya mati, bukankah kita akan tergerak oleh belas kasihan? Tidakkah kita juga tergerak oleh belas kasihan melihat Bunda Maria mengikuti Anak Dombanya yang tak bercela ke tempat pembantaian? Jadi, marilah kita menaruh belas kasihan kepadanya, dan marilah kita juga menemaninya dan menemani Putranya, dengan memikul dengan tekun salib yang Kristus anugerahkan kepada kita. St Yohanes Krisostomus bertanya, mengapa Yesus Kristus, dalam sengsara-Nya yang lain, lebih suka menanggung sengsara-Nya sendiri, tetapi, dalam memikul salib-Nya Ia membiarkan diri dibantu oleh seorang Kirene? Ia menjawab, “hendaknya kamu mengerti bahwa salib Kristus tidak lengkap tanpamu.”


TELADAN

Juruselamat kita suatu hari menampakkan diri kepada Sr Diomira, seorang biarawati di Florence, dan mengatakan, “Pikirkanlah Aku dan kasihilah Aku, maka Aku akan memikirkan engkau dan mengasihi engkau.” Pada saat yang sama Kristus memberinya seikat bunga dan sebuah salib, dengan cara demikian menyatakan bahwa penghiburan bagi para kudus di dunia ini senantiasa disertai dengan salib. Salib mempersatukan jiwa dengan Tuhan. Beato Hieronimus Emilian, saat masih menjadi seorang tentara dan penuh dosa, dikurung oleh para musuhnya dalam sebuah benteng. Di sana, terdorong oleh kemalangannya, dan memperoleh pencerahan dari Tuhan untuk mengubah hidupnya, ia mohon pertolongan Santa Perawan, dan sejak saat itu, dengan pertolongan Bunda Allah, ia mulai hidup sebagai seorang kudus, begitu saleh hidupnya hingga suatu hari ia beroleh karunia melihat tempat sangat tinggi yang telah Tuhan persiapkan baginya di surga. Ia menjadi pendiri ordo religius Somaschi, wafat sebagai seorang kudus, dan baru-baru ini telah dikanonisasi oleh Gereja yang kudus.


DOA

Bundaku yang berduka, demi dukacita luar biasa yang engkau derita saat menyaksikan Putramu Yesus yang terkasih digiring menuju pembantaian, perolehkanlah bagiku rahmat agar aku juga senantiasa tekun dalam memikul salib-salib yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Alangkah bahagianya aku, seandainya aku tahu bagaimana menyertaimu dengan salibku hingga ajal. Engkau bersama Putramu Yesus - kalian berdua yang sama sekali tak berdosa - telah memikul salib yang jauh lebih berat; layakkah aku, seorang pendosa, yang pantas mendapatkan neraka, menolak memikul salibku? Ah, Santa Perawan yang Dikandung Tanpa Dosa, darimu aku berharap memperoleh pertolongan dalam memikul semua salibku dengan tekun. Amin.

Saat Puteranya wafat

Sekarang kita merenungkan kemartiran Bunda Maria yang lain - seorang ibunda yang diharuskan melihat Putranya yang tak berdosa, dan yang ia cintai dengan segenap kasih sayang jiwanya, disiksa dengan keji dan dijatuhi hukuman mati di depan matanya, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya.” St Yohanes yakin bahwa dengan kata-kata tersebut ia telah cukup mengungkapkan kemartiran Maria. Marilah merenungkan Bunda Maria yang berada di kaki salib, menemani Putranya yang meregang nyawa, dan lihatlah, adakah dukacita seperti dukacitanya. Marilah pada hari ini kita tinggal sejenak di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita kelima, yang saat wafat Yesus, menembus hati Maria.

Segera setelah Penebus kita yang sengsara tiba di Bukit Kalvari, para algojo menanggalkan pakaian-Nya, dan menembusi tangan-tangan serta kaki-kaki-Nya dengan “bukan paku-paku yang tajam, melainkan paku-paku yang tumpul,” seperti dikatakan St Bernardus, agar lebih menyiksa-Nya, mereka memaku-Nya pada kayu salib. Sesudah menyalibkan-Nya, mereka memancangkan salib lalu membiarkan-Nya mati. Para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan Maria. Ia kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di saat ajal, “Aku tidak meninggalkan-Nya,” demikian Santa Perawan mengatakan kepada St Brigitta, “melainkan tinggal dekat kaki salib-Nya.” “Tetapi, apakah gunanya bagimu, ya Bunda,” kata St Bonaventura, “pergi ke Kalvari dan menyaksikan Putramu wafat? Tidakkah rasa malu mencegah engkau pergi, sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkau adalah Bunda-Nya. Setidak-tidaknya rasa ngeri yang mencekam menyaksikan kejahatan yang sedemikian, penyaliban Tuhan oleh makhluk ciptaan-Nya sendiri, mencegah engkau pergi ke sana.” Tetapi, santo yang sama menjawab, “Ah, hatimu tidak memikirkan dukacitanya sendiri, melainkan sengsara dan wafat Putramu terkasih,” dan oleh sebab itulah engkau lebih suka hadir, setidaknya untuk berbelas kasihan kepada-Nya. “Ah, Bunda yang sejati,” kata Abbas William, “Bunda yang paling penuh cinta kasih, yang bahkan ngeri kematian tak dapat memisahkanmu dari Putramu terkasih.” Tetapi, ya Tuhan, betapa suatu pemandangan yang memilukan melihat Putra menanggung sengsara di atas salib sementara di kaki salib Bunda yang berduka menanggung segala siksa aniaya yang diderita Putranya! Dengarlah kata-kata yang diungkapkan Bunda Maria kepada St Brigitta mengenai dukacita luar biasa saat menyaksikan Putranya meregang nyawa di salib, “Yesusku terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah tertutup dan tak bercahaya; bibir-nya bengkak dan mulut-Nya ternganga; pipinya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut wajah-Nya sengsara: kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam oleh darah, lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya kaku, sekujur tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah.”

Segala sengsara Yesus ini adalah juga sengsara Maria, “setiap aniaya yang diderita tubuh Yesus,” kata St Hieronimus, “adalah luka di hati Bunda Maria.” “Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu,” kata St Yohanes Krisostomus, “akan melihat dua altar di mana dua kurban agung dipersembahkan; yang satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya adalah hati Maria.” Tidak, lebih tepat jika kita mengatakannya bersama St Bonaventura, “hanya ada satu altar - yaitu salib Putra, di mana, bersama dengan kurban Anak Domba Allah ini, sang Bunda juga dikurbankan.” Sebab itu, St Bonaventura bertanya kepada sang Bunda, “Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di kaki salib? Tidak, melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan, mengurbankan diri bersama Putramu.” St Agustinus menegaskan hal yang sama, “Salib dan paku-paku sang Putra adalah juga salib dan paku-paku Bunda-Nya; bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga Bunda-Nya.” Ya, seperti dikatakan St Bernardus, “Kasih mengakibatkan dalam hati Maria siksa aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang ditembuskan pada tubuh Yesus.” Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St Bernardus, “Pada saat yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda mengurbankan jiwa-Nya.”

Para ibu pada umumnya tidak tahan dan menghindarkan diri dari menyaksikan anak-anak mereka mengalami sakrat maut, tetapi apabila seorang ibu harus menghadapi kenyataan yang demikian, ia akan mengusahakan segala daya upaya untuk meringankan penderitaan anaknya; ia merapikan tempat tidurnya agar anaknya merasa lebih nyaman, ia melayani segala kebutuhan anaknya, dengan demikian ibu yang malang itu meringankan penderitanya sendiri. Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibu! Ya Maria, engkau harus menyaksikan sengsara Putramu Yesus yang sedang meregang nyawa; tetapi engkau tak dapat melakukan sesuatu pun guna meringankan penderitaan-Nya. Bunda Maria mendengar Putranya berseru, “Aku haus!” tetapi ia bahkan tak dapat memberikan setetes air pun untuk melegakan dahaga-Nya yang sangat. Ia hanya dapat mengatakan, seperti dikatakan St Vincentius Ferrer, “Nak, ibu-Mu hanya punya airmata.” Ia melihat bahwa di atas pembaringan salib, Putranya, yang digantung dengan tiga paku, tak dapat beristirahat dengan tenang; betapa ingin ia merengkuh-Nya dalam pelukannya guna meringankan penderitaan-Nya, atau setidak-tidaknya Ia boleh menghembuskan napas terakhir-Nya dalam pelukannya, tetapi hal itu tak dapat dilakukannya. “Dengan sia-sia,” kata St Bernardus, “ia merentangkan kedua tangannya, tetapi tangan-tangan itu kembali ke dadanya dengan kosong.” Ia menyaksikan Putranya yang malang, yang dalam lautan sengsara-Nya mencari penghiburan, tetapi sia-sia, seperti dinubuatkan nabi, “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang menemani Aku!” Tetapi, siapakah di antara manusia yang mau menghibur-Nya, karena mereka semua memusuhi-Nya? Bahkan di atas salib Ia dicela dan dihujat oleh orang-orang di sekitarnya, “orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia …sambil menggelengkan kepala.” Sebagian berkata kepada-Nya, “Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Yang lain berkata, “Orang lain ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” Lagi, “Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu.” Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, “Aku mendengar sebagian orang mengatakan bahwa Putraku seorang penjahat; sebagian lagi mengatakan bahwa Ia seorang penipu; yang lainnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih pantas dijatuhi hukuman mati selain daripada Dia; dan setiap kata yang mereka lontarkan merupakan pedang-pedang dukacita baru yang menembusi hatiku.”

Tetapi, yang paling menambah beban duka yang diderita Bunda Maria melalui belas kasihannya terhadap Putranya adalah ketika ia mendengar-Nya mengeluh dari atas salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang Kekal telah meninggalkan-Nya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kata-kata ini, seperti diungkapkan Bunda Allah kepada St Brigitta, tak pernah dapat, sepanjang hidupnya, lepas dari ingatannya. Jadi, Bunda yang berduka menyaksikan Putranya Yesus menanggung sengsara dari berbagai pihak; ia berhasrat menghiburnya, tetapi tak dapat. Dan yang paling mendukakan hatinya ialah menyadari bahwa dirinya sendiri, kehadiran dan dukacitanya, menambah sengsara Putranya. “Dukacita,” kata St Bernardus, “yang memenuhi hati Maria, bagaikan air bah membanjiri serta melukai hati Yesus.” “Begitu hebatnya,” menurut santo yang sama, “hingga Yesus di atas salib lebih menderita karena belas kasihan-Nya terhadap Bunda-Nya daripada karena sengsara-Nya sendiri.” Kemudian ia berbicara atas nama Bunda Maria, “Aku berdiri dengan mataku terpaku pada-Nya, dan mata-Nya padaku, dan Ia lebih menderita karena aku daripada karena Diri-Nya Sendiri.” Lalu, berbicara mengenai Bunda Maria yang berada di samping Putranya yang meregang nyawa, ia mengatakan, “ia hidup dalam kematian tanpa dapat mati.” “Di kaki salib Kristus, Bunda-Nya berdiri separuh mati; ia tak berbicara, mati sementara ia hidup, dan hidup sementara ia mati; ia tak dapat mati, sebab kematian adalah hidupnya yang sesungguhnya.” Passino menulis bahwa Yesus Kristus Sendiri suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino, meyakinkannya bahwa saat di atas salib, begitu hebat dukacitanya melihat Bunda-Nya berdiri di kaki salib dalam dukacita yang luar biasa, hingga belas kasihan-Nya terhadapnya menyebabkan Ia wafat tanpa penghiburan; begitu dahsyat dukacita itu hingga Beata Baptista, yang dianugerahi pencerahan ilahi, merasakan luar biasanya sengsara Yesus ini, berseru, “Ya Tuhan, jangan ceritakan lagi sengsara-Mu ini, sebab aku tak mampu lagi menanggungnya.”

“Semua orang,” kata Simon dari Cassia, “yang saat itu menyaksikan Bunda Maria diam seribu bahasa, tanpa sepatah kata pun keluhan, di tengah dukacita yang begitu hebat itu, merasa tercengang.” Tetapi, jika bibirnya tenang, tidak demikian halnya dengan hatinya, sebab tak henti-hentinya Bunda Maria mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada Keadilan Ilahi demi keselamatan umat manusia. Oleh sebab itu, kita tahu bahwa dengan jasa-jasa dukacitanya, Bunda Maria bekerjasama dengan Allah dalam melahirkan kita ke dalam kehidupan rahmat, dan dengan demikian kita adalah anak-anak dari dukacitanya.

“Kristus,” kata Lanspergius, “bersuka hati bahwa ia, rekan dalam penebusan kita, dan yang telah Ia tetapkan untuk diberikan-Nya kepada kita sebagai Bunda kita, hadir di sana; sebab di kaki saliblah ia ditetapkan untuk melahirkan kita, anak-anaknya.” Jika ada setitik penghiburan yang mampu menembus lautan dukacita dalam hati Bunda Maria, satu-satunya penghiburan itu ialah bahwa ia mengetahui, dengan dukacitanya ia menghantar kita pada keselamatan abadi, seperti yang dinyatakan Yesus Sendiri kepada St Brigitta, “Bunda-Ku Maria, oleh karena belas kasihan dan kasih sayangnya, diangkat menjadi Bunda Seluruh Langit dan Bumi.” Dan sungguh, inilah kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus sebagai salam perpisahan kepada Bunda-Nya sebelum Ia wafat: inilah pesan terakhir-Nya, mempercayakan kita semua kepadanya sebagai anak-anaknya melalui sosok St Yohanes, “Ibu, inilah anakmu!” Sejak saat itu Bunda Maria memulai perannya sebagai Bunda bagi kita; St Petrus Damianus menegaskan, “melalui doa-doa Maria, yang berdiri di kaki salib antara penyamun yang baik dan Putranya, penyamun itu dipertobatkan dan diselamatkan, dan dengan demikian ia membalas kebaikannya di masa lampau.” Sebab, seperti dikisahkan para penulis lainnya juga, penyamun ini telah bermurah hati kepada Yesus dan Bunda Maria dalam pengungsian mereka ke Mesir. Peran yang sama dari Santa Perawan terus berlanjut, dan masih berlanjut, untuk selamanya.


TELADAN

Seorang pemuda di Perugia berjanji kepada iblis, jika iblis membuatnya mampu mendapatkan obyek dosa yang ia dambakan, ia akan mempersembahkan jiwanya; ia menyerahkan perjanjian tertulis kepada iblis yang ditandatangani dengan darahnya. Setelah kejahatan dilakukan, iblis menuntut dipenuhinya janji sang pemuda. Untuk itu, iblis menggiringnya ke tepi sungai yang dalam dan mengancam jika ia tidak menceburkan diri ke dalamnya, iblis akan menyeretnya, tubuh dan jiwa, ke dalam neraka. Pemuda malang ini, berpikir bahwa tidaklah mungkin meloloskan diri dari tangan iblis, naik ke sebuah jembatan kecil di mana ia dapat meloncat; gemetar akan bayangan kematian, ia mengatakan kepada iblis bahwa ia tidak memiliki keberanian untuk meloncat; jika iblis menuntut kematiannya, iblislah yang harus mendorongnya. Pemuda ini mengenakan skapulir SP Maria Berdukacita, sebab itu iblis berkata, “Lepaskan skapulir itu, maka aku akan mendorongmu.” Sang pemuda, menyadari bahwa melalui skapulirnya Bunda Allah masih berkenan memberinya perlindungan, menolak melakukannya. Pada akhirnya, setelah pertengkaran sengit, iblis dengan putus asa pergi; dan si pendosa, penuh rasa syukur kepada Bunda Dukacita, pergi untuk berterima kasih kepadanya dan mengakukan dosa-dosanya. Sesuai nazarnya, sang pemuda mempersembahkan bagi Santa Perawan, di gereja Santa Maria la Nuova di Perugia, sebuah lukisan yang menggambarkan apa yang telah terjadi.


DOA

Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah wafat; Putra yang begitu menawan dan yang begitu mengasihi engkau! Menangislah, sebab engkau punya alasan untuk mengangis. Siapakah gerangan yang mampu menghibur engkau? Hanya pikiran bahwa Yesus dengan wafat-Nya menaklukkan neraka, membuka pintu gerbang surga yang hingga saat itu tertutup bagi manusia, dan memenangkan banyak jiwa-jiwa, yang mampu menghibur engkau. Dari atas tahta salib, Ia akan berkuasa dalam begitu banyak hati, yang, takluk pada kasih-Nya, akan mengabdi-Nya dengan sepenuh hati. Sementara itu, ya Bundaku, janganlah menolak aku, ijinkan aku berada di dekatmu, menangis bersamamu, sebab aku punya banyak alasan untuk mengangisi dosa-dosaku dengan mana aku telah menghina-Nya. Ah, Bunda Belas Kasihan, aku berharap, pertama-tama, melalui wafat Penebus-ku, dan kemudian melalui dukacitamu, untuk memperoleh pengampunan serta keselamatan abadi.

Saat lambung Puteranya di tikam


“Acuh tak acuhkan kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah, apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan Tuhan kepadaku?” Jiwa-jiwa saleh, dengarkanlah apa yang dikatakan Bunda yang berduka hari ini, “Anak-anakku terkasih, aku tidak berharap kalian menghiburku; tidak, sebab jiwaku tak lagi mudah tersentuh oleh penghiburan di dunia ini setelah wafat Putraku Yesus yang terkasih. Jika engkau hendak menyenangkan hatiku, inilah yang aku minta dari kalian; pandanglah aku dan lihatlah adakah kesedihan di dunia ini yang seperti kesedihanku, menyaksikan Dia yang adalah jantung hatiku direnggut dariku dengan keji.” Tetapi, Bunda yang berkuasa, oleh sebab engkau tidak hendak dihibur dan engkau memiliki kerinduan yang begitu besar untuk menderita, harus kukatakan kepadamu, bahwa bahkan dengan wafatnya Putramu, dukacitamu belumlah berakhir. Pada hari ini engkau akan ditembusi oleh pedang dukacita yang lain, sebilah tombak dengan keji akan ditikamkan pada lambung Putramu yang telah wafat, dan engkau akan menerima-Nya dalam pelukanmu setelah jenazah-Nya diturunkan dari salib. Sekarang kita akan merenungkan dukacita keenam yang mendukakan Bunda yang malang ini. Merenunglah dan menangislah. Sampai sekarang dukacita Maria menderanya satu demi satu; pada hari ini seluruh dukacita itu bergabung menjadi satu untuk menyerangnya.

Cukuplah mengatakan kepada seorang ibu bahwa anaknya meninggal dunia untuk menggoncangkan segala kasihnya. Sebagian orang, guna meringankan dukacita seorang ibu, mengingatkannya akan kekecewaan yang suatu ketika dilakukan oleh anaknya yang telah meninggal itu. Tetapi aku, ya Ratuku, akankah aku berharap meringankan dukacitamu atas wafat Yesus? Kekecewaan apakah yang pernah dilakukan-Nya terhadapmu? Sungguh, tidak ada. Ia senantiasa mengasihimu, senantiasa mentaatimu, dan senantiasa menghormatimu. Sekarang engkau telah kehilangan Dia, siapakah yang dapat mengungkapkan kesedihan hatimu? Akankah engkau menjelaskannya, engkau yang mengalaminya. Seorang penulis yang saleh mengatakan bahwa ketika Penebus kita yang terkasih wafat, perhatian utama Bunda yang agung ini adalah menemani dalam roh, jiwa Putranya yang terkudus dan mempersembahkan-Nya kepada Bapa yang Kekal. “Kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhanku,” pastilah Bunda Maria berkata demikian, “jiwa tak berdosa dari PutraMu dan Putraku; Ia taat hingga wafat kepada-Mu; sudilah Engkau menerima-Nya dalam pelukan-Mu. Keadilan-Mu telah dipuaskan sekarang, kehendak-Mu telah digenapi; lihatlah, kurban agung demi kemuliaan-Mu yang kekal telah dikurbankan.” Kemudian, sambil memandangi tubuh Putranya Yesus yang tak bernyawa, ia berkata, “O bilur-bilur, o bilur-bilur cinta, aku menyembahmu, dan dalam engkau aku bersukacita; sebab melalui engkau, keselamatan dianugerahkan kepada dunia. Engkau akan tinggal menganga pada tubuh Putraku, dan menjadi pengungsian bagi mereka yang mohon perlindungan padamu. Oh, betapa banyak jiwa-jiwa, melalui engkau akan beroleh rahmat pengampunan atas dosa-dosa mereka, dan olehmu dikobarkan dalam kasih kepada Allah yang Mahabaik!”

Agar tak mengganggu kegembiraan Sabat Paskah, orang-orang Yahudi menghendaki agar tubuh Yesus diturunkan dari salib; tetapi, karena hal ini tak dapat dilakukan kecuali para terhukum telah mati, para prajurit datang dengan palu besi untuk mematahkan kaki-Nya, seperti yang telah mereka lakukan pada dua penyamun yang disalibkan bersama-Nya. Bunda Maria masih menangisi kematian Putranya saat ia melihat prajurit-prajurit bersenjata ini maju mendekati Yesus. Melihat ini, Bunda gemetar ketakukan, lalu berseru, “Ah, Putraku sudah wafat; berhentilah menganiaya-Nya; janganlah siksa aku lagi, Bunda-Nya yang malang.” Ia mohon pada mereka, tulis St Bonaventura, “untuk tidak mematahkan kaki-Nya.” Tetapi sementara ia berkata, ya Tuhan! Ia melihat seorang prajurit menghunus tombaknya dan menikamkannya pada lambung Yesus, “seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.” Saat tombak dihujamkan, salib berguncang, dan, seperti yang kemudian dinyatakan kepada St Brigitta, hati Yesus terbelah menjadi dua. Dari sanalah mengalir darah dan air; sebab hanya sedikit tetes-tetes darah itu saja yang masih tersisa, dan bahkan itu pun rela dicurahkan oleh Juruselamat kita agar kita mengerti bahwa tak ada lagi darah-Nya yang masih tersisa yang tak diberikan-Nya kepada kita. Luka akibat tikaman itu menganga pada tubuh Yesus, tetapi Bunda Marialah yang menderita sakitnya. “Kristus,” kata Lanspergius yang saleh, “berbagi sengsara ini dengan Bunda-Nya; Ia yang menerima penghinaan, Bunda-Nya yang menanggung sengsaranya.” Para bapa kudus berpendapat bahwa inilah sesungguhnya pedang yang dinubuatkan Nabi Simeon kepada kepada Santa Perawan: suatu pedang, bukan pedang materiil, melainkan pedang dukacita, yang menembus jiwanya yang terberkati yang tinggal dalam hati Yesus, di mana ia senantiasa tinggal. Dengan demikian, St Bernardus mengatakan, “Tombak yang ditikamkan ke lambung-Nya menembus jiwa Santa Perawan yang tak pernah meninggalkan hati Putranya.” Bunda Allah sendiri mengungkapkan hal yang sama kepada St Brigitta, “Ketika tombak dicabut, ujungnya tampak merah karena darah; melihat hati Putraku terkasih ditikam, aku merasa seakan-akan hatiku sendiri juga ditikam.” Malaikat menyampaikan kepada santa yang sama, “begitu dahsyat dukacita Maria, hingga hanya karena mukjizat penyelenggaraan Ilahi, ia tidak mati.” Dalam dukacitanya yang lain, setidak-tidaknya ada Putranya yang berbelas kasihan kepadanya; tetapi sekarang Ia bahkan tak ada untuk berbelas kasihan kepadanya.

Bunda yang berduka, khawatir kalau-kalau aniaya yang lain masih akan ditimpakan atas Putranya, mohon pada Yusuf dari Arimatea untuk meminta jenazah Yesus Putranya dari Pilatus, hingga setidak-tidaknya setelah Ia wafat, ia dapat menjaga serta melindungi-Nya dari penghinaan lebih lanjut. Yusuf pergi dan menyampaikan kepada Pilatus kesedihan dan harapan Bunda yang berduka ini. St Anselmus yakin bahwa belas kasihan terhadap sang Bunda telah melunakkan hati Pilatus dan menggerakkannya untuk memberikan jenazah Juruselamat kita. Tubuh Yesus kemudian diturunkan dari salib. O Perawan tersuci, setelah engkau memberikan Putramu kepada dunia dengan cinta yang begitu besar demi keselamatan kami, lihatlah, dunia sekarang mengembalikan-Nya kepadamu; tetapi, ya Tuhan, dalam keadaan bagaimanakah engkau menerimanya? Ya dunia, kata Maria, bagaimana engkau mengembalikan-Nya kepadaku? “Putraku berkulit putih kemerah-merahan, tetapi engkau mengembalikan-Nya kepadaku dalam keadaan hitam lebam oleh bilur-bilur dan merah - ya! tetapi merah karena luka-luka yang engkau timpakan atas-Nya. Ia elok dan menawan; tetapi sekarang tak nampak lagi keelokan pada-Nya; tak ada lagi semarak-Nya. Kehadiran-Nya memikat semua orang; sekarang Ia menimbulkan kengerian pada semua yang melihat-Nya.” “Oh, betapa banyak pedang,” kata St Bonaventura, “yang menembusi jiwa Bunda yang malang ini ketika ia menerima jenazah Putranya dari salib! Marilah sejenak membayangkan dukacita mendalam yang dialami ibu manapun ketika menerima tubuh anaknya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Dinyatakan kepada St Brigitta bahwa tiga tangga disandarkan pada salib untuk menurunkan Tubuh Kudus; para murid yang kudus pertama-tama mencabut paku-paku dari tangan dan kaki-Nya, dan menurut Metaphrastes, menyerahkan paku-paku itu kepada Maria. Kemudian seorang dari mereka menopang tubuh Yesus bagian atas sementara murid yang lain menopang tubuh Yesus bagian bawah; demikianlah Ia diturunkan dari salib. Bernardinus de Bustis menggambarkan Bunda yang berduka, sementara berdiri, merentangkan kedua tangannya untuk merengkuh Putranya terkasih; ia memeluk-Nya dan kemudian duduk bersimpuh di kaki salib. Mulut-Nya ternganga, mata-Nya tanpa cahaya. Bunda Maria lalu memeriksa daging-Nya yang terkoyak dan tulang-tulang-Nya yang menyembul; ia melepaskan mahkota duri dan memandangi luka-luka mengerikan yang diakibatkan mahkota duri pada kepala-Nya yang kudus; ia mengamati lubang-lubang di tangan dan kaki-Nya seraya berkata kepada-Nya, “Ah, Putraku, seberapa besarnyakah kasih-Mu kepada manusia; kesalahan apakah yang telah Engkau lakukan terhadap mereka hingga mereka menyiksa-Mu demikian keji? Engkau adalah Bapaku,” lanjut Bernardinus de Bustis atas nama Maria, “Engkau adalah saudaraku, mempelaiku, sukacitaku, kemuliaanku; Engkau adalah segala-galanya bagiku.” Putraku, tengoklah dukacitaku, pandanglah aku; hiburlah aku; tetapi tidak, Engkau tak lagi melihatku. Berbicaralah, sepatah kata saja, dan hiburlah aku; tetapi Engkau tak lagi berbicara, sebab Engkau telah wafat. Kemudian, berpaling pada alat-alat siksa yang keji, ia berkata, O mahkota duri yang keji, O paku-paku yang kejam, O tombak yang tak berbelas kasihan, bagaimanakah, bagaimana mungkin kalian menganiaya Pencipta-Mu? Tetapi, mengapakah aku berbicara tentang mahkota duri dan paku? Astaga! Para pendosa, serunya, kalianlah yang telah memperlakukan Putraku begitu keji.

Demikianlah Bunda Maria berbicara dan mengeluh atas kita. Tetapi apakah yang hendak ia katakan sekarang, apakah ia masih dapat tergerak oleh penderitaan? Bagaimanakah kiranya kesedihan hatinya melihat manusia, walaupun Putranya telah wafat bagi mereka, masih terus-menerus menyiksa dan menyalibkan-Nya dengan dosa-dosa mereka! Marilah kita, setidak-tidaknya, berhenti menyiksa Bunda yang berduka ini, dan jika kita sampai sekarang masih mendukakan hatinya dengan dosa-dosa kita, marilah kita, saat ini juga, melakukan segala yang dikehendakinya. Bunda kita berkata, “Kembalilah, kalian yang berdosa, kepada hati Yesus.” Para pendosa, kembalilah kepada hati Yesus yang terluka; kembalilah sebagai seorang peniten, dan Ia akan menyambutmu. “Larilah dari Dia kepada Dia,” ia melanjutkan perkataannya bersama Abbas Guarric, “dari Hakim kepada Penebus, dari Pengadilan kepada Salib.” Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa “ia menutup mata Putranya ketika tubuh-Nya diturunkan dari salib, tetapi ia tak dapat menangkupkan tangan-tangan-Nya.” Dengan demikian Yesus Kristus ingin kita mengetahui bahwa Ia rindu tetap dengan tangan-tangan-Nya terbuka menerima semua orang berdosa yang kembali kepada-Nya. “Oh, dunia,” lanjut Bunda Maria, “lihatlah, masamu adalah masa bagi para kekasih.” “Sekarang, setelah Putraku wafat demi menyelamatkanmu, tak akan ada lagi bagimu masa ketakutan, melainkan masa kasih - suatu masa untuk mengasihi-Nya, Ia yang guna menunjukkan kasih-Nya kepadamu rela menanggung sengsara yang begitu hebat.” “Hati Yesus,” kata St Bernardus, “ditikam, agar melalui luka-luka-Nya yang nampak itu, luka-luka kasih-Nya yang tak nampak menjadi kelihatan.” “Jadi, jika,” Bunda Maria menyimpulkan dengan kata-kata Beato Raymond Jordano, “Putraku, oleh karena kasih-Nya yang begitu besar, rela lambung-Nya ditikam, agar Ia dapat memberikan hati-Nya kepada kalian, maka sudah selayaknyalah, jika kalian membalas-Nya dengan juga memberikan hati kalian kepada-Nya.” Dan jika kalian rindu, ya putera-puteri Maria, untuk menemukan tempat dalam hati Yesus, tanpa takut ditolak, “pergilah,” kata Ubertino da Casale, “pergilah bersama Maria; karena ia akan memperolehkan rahmat bagi kalian.” Mengenai hal ini, kalian dapat melihat buktinya melalui teladan indah berikut ini.


TELADAN

Dikisahkan, adalah seorang pendosa malang yang, di antara kejahatan-kejahatan lain yang dilakukannya, telah pula membunuh ayah dan saudara laki-lakinya, dan karena itu ia menjadi seorang pelarian. Suatu hari di Masa Prapaskah, ia mendengarkan khotbah imam tentang Kerahiman Ilahi. Maka, pergilah ia mengakukan dosa-dosanya kepada imam pengkhotbah. Bapa pengakuan, mendengar dosa-dosanya yang luar biasa berat, memintanya pergi ke hadapan SP Maria Bunda Dukacita, agar Bunda Maria dapat memperolehkan baginya rahmat tobat mendalam dan pengampunan atas dosa-dosanya. Orang berdosa itu patuh dan mulai berdoa; ketika, lihatlah, tiba-tiba ia roboh dan tewas seketika karena kesedihan yang sangat mendalam. Keesokan harinya, saat imam, dalam intensi Misa, mengunjukkan doa baginya, seekor merpati putih sekonyong-konyong muncul dalam gereja dan menjatuhkan sehelai kartu di kaki imam. Imam memungutnya dan mendapati tulisan berikut tertera di atasnya, “Jiwa almarhum, saat meninggalkan raganya, langsung menuju surga. Teruslah engkau menyampaikan khotbah tentang Kerahiman Ilahi yang tak terbatas.”


DOA

O Perawan yang berduka! Oh, jiwa yang sarat dengan kebajikan, namun juga sarat dengan dukacita, karena dukacita yang satu dan yang lainnya saling bergantian mendera hatimu yang berkobar-kobar dengan kasih kepada Tuhan, sebab engkau hanya mengasihi Dia saja; ah Bunda, kasihanilah aku, sebab bukannya mengasihi Tuhan, malahan aku menghina-Nya terus-menerus. Dukacitamu, ya Bunda, membangkitkan dalam diriku harapan akan pengampunan. Tetapi ini belumlah cukup; aku rindu mengasihi Tuhan-ku; dan bagaimanakah aku dapat memperoleh kasih ini lebih baik selain melalui engkau, yang adalah Bunda Cinta Kasih? Ah, Bunda Maria, engkau menghibur semua orang, hiburlah aku juga. Amin.

Saat Puteranya dimakamkan

Ketika seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita dan mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan menanggung segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu meninggal dunia, sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah ibunda yang berduka itu mengucapkan selamat berpisah kepada anaknya; dan kemudian, sungguh, pikiran bahwa ia tak akan pernah melihat anaknya itu lagi merupakan suatu dukacita yang melampaui segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita Maria yang terakhir, yang sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan wafat Putranya di salib dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk terakhir kalinya, Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di makam, tak akan lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih di dunia ini.

Agar dapat memahami dengan lebih baik dukacita terakhir ini, kita akan kembali ke Kalvari dan merenungkan Bunda yang berduka, yang masih mendekap tubuh Putranya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Oh Putraku, demikian ia berkata dengan kata-kata Ayub, Putraku, “Engkau menjadi kejam terhadap aku.” Ya, oleh sebab segala sifat-Mu yang agung, keanggunan-Mu, perilaku-Mu dan kebajikan-kebajikan-Mu, sikap-Mu yang santun, segala tanda kasih istimewa yang Kau limpahkan kepadaku, karunia-karunia khusus yang Kau anugerahkan kepadaku - semuanya sekarang berubah menjadi dukacita, dan bagaikan begitu banyak anak panah yang menembusi hatiku; semakin semuanya itu memperdalam kasihku kepada-Mu, semakin kejam semuanya itu kini memedihkan hatiku karena kehilangan Engkau. Ah, Putraku terkasih, dengan kehilangan Engkau, aku kehilangan segalanya. St Bernardus berbicara atas nama Bunda Maria, “Oh satu-satunya Allah yang Esa, bagiku Engkau adalah Bapaku, Putraku, Mempelaiku: Engkau adalah jiwaku! Sekarang aku direnggut dari Bapaku, menjadi janda dari Mempelaiku, menjadi Bunda yang tak ber-Putra; yang merana karena kehilangan Putra tunggalku, aku telah kehilangan segalanya.”

Demikianlah Bunda Maria, dengan sang Putra dalam pelukannya, larut dalam dukacita. Para murid yang kudus, khawatir kalau-kalau Bunda yang malang ini wafat karena duka yang mendalam, menghampirinya untuk mengambil jenazah Putranya dari pelukannya untuk dimakamkan. Kekejaman ini mereka lakukan dengan lemah lembut serta penuh hormat, dan sesudah memburat tubuh-Nya dengan rempah-rempah, mereka mengapani-Nya dengan kain lenan yang telah mereka persiapkan. Di atas kain ini, yang hingga kini masih tersimpan di Turin, Kristus berkenan meninggalkan bagi dunia gambar tubuh-Nya yang kudus. Para murid lalu menghantar-Nya ke makam. Pertama-tama mereka mengusung Tubuh Kudus di atas bahu mereka dan kemudian iring-iringan duka itu pun berangkat; paduan suara malaikat dari surga mengiringi mereka; para wanita kudus berjalan mengikuti, dan bersama mereka Bunda yang berduka juga menyertai Putranya ke tempat pemakaman. Setiba mereka di sana, “Oh, betapa senang hati Bunda Maria membiarkan dirinya dikubur hidup-hidup bersama Putranya, andai memang demikian kehendak-Nya!” seperti diungkapkan Bunda Maria sendiri kepada St Brigitta. Tetapi karena bukan demikianlah kehendak Ilahi, banyak penulis mengatakan bahwa ia menghantar tubuh kudus Yesus sampai ke makam, di mana menurut Baronius, para murid juga menyertakan paku-paku dan mahkota duri. Saat hendak menggulingkan batu penutup pintu masuk, para murid sang Juruselamat yang kudus terpaksa menghampiri Bunda Maria dan mengatakan, “Sekarang, ya Bunda, kami harus menutup pintu makam: maafkan kami, tengoklah sekali lagi Putramu dan sampaikanlah salam perpisahan kepada-Nya.” Putraku terkasih (pasti demikianlah Bunda yang berduka berkata); aku tak kan melihat-Mu lagi. Sebab itu, pada kesempatan terakhir aku memandang-Mu ini, terimalah salam perpisahanku, salam perpisahan dari Bunda-Mu terkasih, dan terimalah juga hatiku, yang aku tinggalkan agar dikubur bersama-Mu. St Fulgentius menulis, “Dalam diri Bunda Maria berkobar hasrat agar jiwanya dikuburkan bersama tubuh Kristus.” Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta, “Sejujurnya aku katakan bahwa saat pemakaman Putraku, dalam makam yang satu itu seolah-olah terdapat dua jiwa.”

Akhirnya, para murid menggulingkan batu dan menutup makam yang kudus, di mana di dalamnya terbaring tubuh Yesus, harta pusaka yang agung mulia - begitu agung dan mulia hingga tak ada yang lebih agung dan mulia darinya, baik di bumi maupun di surga. Pada bagian ini, ijinkanlah aku sedikit menyimpang dan menegaskan bahwa hati Bunda Maria dikuburkan bersama Yesus, sebab Yesus adalah satu-satunya hartanya, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dan di manakah gerangan, seandainya kita boleh bertanya, hati kita dikuburkan? Pada makhluk-makhluk ciptaan yang mungkin berkubang dalam lumpur. Dan mengapakah tidak pada Yesus, yang, walaupun telah naik ke surga masih dengan senang hati tinggal di bumi dalam Sakramen Mahakudus di altar, bukankah tepat jika jiwa kita ada bersama-Nya, dan menjadi milik-Nya? Baiklah, kita kembali kepada Bunda Maria. Sebelum meninggalkan makam, menurut St Bonaventura, Bunda Maria memberkati makam kudus yang kini telah tertutup rapat dengan berseru, “Oh, makam yang bahagia, dalam rahimmu sekarang terbaring Tubuh Kudus yang selama sembilan bulan aku kandung dalam rahimku; aku memberkati engkau sembari iri padamu; aku percayakan penjagaan Putraku kepadamu, Putra yang adalah satu-satunya hartaku dan kasihku.” Kemudian, dengan mengangkat segenap hati kepada Bapa yang Kekal, ia berkata, “Ya Bapa, kepada-Mu aku persembahkan Dia - Dia yang adalah PutraMu, yang sekaligus adalah Putraku juga.” Demikianlah Bunda Maria menyampaikan salam perpisahannya kepada Putranya Yesus yang terkasih dan kepada makam di mana tubuh-Nya dibaringkan, lalu ia meninggalkan-Nya dan pulang ke rumah. “Bunda ini,” kata St Bernardus, “pergi dalam keadaan begitu berduka dan sengsara hingga ia menggerakkan banyak orang untuk meneteskan airmata; di manapun ia lewat, semua yang bersua dengannya menangis,” tak kuasa menahan airmata. Ia menambahkan bahwa para murid yang kudus dan perempuan-perempuan yang menyertainya “lebih berdukacita atasnya daripada atas Tuhan mereka.”

St Bonaventura mengatakan bahwa saudari-saudari Bunda Maria menyelubunginya dengan jubah duka, “Saudari-saudari Bunda kita mengerudunginya sebagai janda, hingga hampir menutupi seluruh wajahnya.” Ia juga menambahkan bahwa, saat lewat, dalam perjalanan pulang, di depan salib yang masih basah oleh darah Putranya Yesus, dialah yang pertama-tama memujanya, “O Salib Suci,” serunya, “aku mengecupmu, aku memujamu, sebab kini engkau bukan lagi tiang hukuman yang mengerikan, melainkan tahta kasih dan altar belas kasihan, yang dikuduskan oleh darah Anak Domba Allah, yang di atasmu telah dikurbankan demi keselamatan dunia.” Bunda Maria kemudian meninggalkan salib dan pulang ke rumah. Tiba di sana, Bunda yang berduka mengarahkan pandangan ke sekelilingnya, ia tak lagi melihat Yesus; bukan kehadiran Putranya yang menyenangkan, melainkan kenangan akan hidup-Nya yang kudus dan wafat-Nya yang keji yang hadir di hadapan matanya. Ia terkenang bagaimana ia mendekap Putranya erat-erat ke dadanya di palungan di Betlehem; percakapan-percakapan manis bersama-Nya sepanjang tahun-tahun yang mereka lewatkan bersama di rumah di Nazaret: ia terkenang akan kasih sayang mesra di antara mereka, tatapan kasih mereka, perkataan-perkataan tentang kehidupan kekal yang meluncur dari bibir Ilahi-Nya; dan kemudian terbayang akan peristiwa mengerikan yang ia saksikan pada hari itu, semuanya hadir kembali di hadapannya. Paku-paku itu, mahkota duri, ceceran daging Putranya, luka-luka yang merobek daging-Nya, tulang-tulang yang menyembul, mulut yang ternganga, mata yang tak lagi bercahaya, semuanya hadir kembali di hadapan matanya. Ah, betapa malam itu nerupakan malam yang penuh dukacita bagi Maria! Bunda yang berduka berpaling kepada St Yohanes dan berkata dengan sedih, “Ah Yohanes, katakan, di manakah Guru-mu?” Ia kemudian bertanya kepada Maria Magdalena, “Puteriku, katakan, di manakah kekasih hatimu? Ya Tuhan, siapakah yang telah merenggut-Nya dari kami?” Bunda Maria menangis dan semua yang hadir menangis bersamanya. Dan engkau, wahai jiwaku, tidak meneteskan airmata! Ah, berpalinglah kepada Bunda Maria dan bersama St Bonaventura katakan kepadanya, “Ya, Bundaku yang lemah lembut, ijinkanlah aku menangis; engkau tak berdosa, akulah yang berdosa.” Akhirnya, mohonlah kepadanya untuk menangis bersamanya, “Ijinkanlah aku menangis bersamamu, ya Bunda.” Ia menangis karena cinta, engkau menangis sedih karena dosa-dosamu. Dengan menangis, kiranya engkau beroleh sukacita seperti dia, yang kisahnya kita baca dalam teladan berikut.


TELADAN

Pastor Engelgrave menceriterakan tentang seorang religius yang begitu tersiksa oleh skrupel (= kebimbangan batin) hingga ia terkadang hampir putus asa; tetapi karena ia memiliki devosi mendalam kepada Bunda Dukacita, ia senantiasa mohon perlindungan padanya dalam penderitaan batinnya, dan merasa terhibur sementara ia merenungkan sengsaranya. Ajal menjelang dan iblis menyiksanya jauh lebih hebat dari sebelumnya dengan skrupel, dan berusaha menjatuhkannya dalam keputusasaan. Bunda yang berbelas kasihan, melihat puteranya yang malang menderita demikian rupa, menampakkan diri kepadanya dan berkata, “Dan engkau, puteraku, mengapakah engkau begitu dikuasai oleh penderitaan? Mengapakah engkau begitu takut? Engkau telah begitu sering menghibur hatiku dengan berbelas kasihan dalam dukacitaku. Sekarang,” Bunda Maria menambahkan, “Yesus mengutusku untuk menghiburmu; maka, tenanglah; bersukacitalah dan marilah bersamaku ke surga.” Mendengar kata-kata penghiburan ini, religius yang saleh itu dengan dipenuhi sukacita dan kepercayaan, menghembuskan napasnya yang terakhir dalam damai.


DOA

Bundaku yang berduka, aku tidak akan membiarkan engkau menangis seorang diri, tidak, aku akan menemanimu dengan airmataku. Ijinkan aku mohon rahmat ini daripadamu: perolehkanlah bagiku rahmat agar senantiasa ada dalam benakku dan senantiasa ada dalam hatiku devosi kepada Sengsara Yesus dan kepada Dukacitamu, agar sisa-sisa hariku boleh aku lewatkan dengan menangisi dukacitamu, ya Bundaku yang lemah lembut, dan menangisi Sengsara Penebus-ku. Penderitaan-penderitaan ini, aku yakin, akan memberiku kepercayaan serta kekuatan yang aku butuhkan di saat ajalku, agar aku tidak jatuh dalam keputusasaan menyadari begitu banyak dosa di mana aku telah menghina Tuhan-ku. Penderitaan-penderitaan ini akan mendatangkan bagiku pengampunan, ketekunan dan surga, yang aku rindu untuk menikmatinya bersama engkau, dan agar dapatlah aku memadahkan belas kasihan Allah yang tak terbatas untuk selama-lamanya. Demikianlah yang aku harapkan, semoga terjadilah demikian. Amin. Amin.


DOA ST BONAVENTURA

Ya Bunda, engkau yang dengan kelemah-lembutanmu menjerat hati umat manusia, sudahkah engkau menjerat hatiku juga? Ya pencuri hati, bilakah engkau memulihkan hatiku? Pimpinlah dan kuasailah hatiku bagaikan milikmu sendiri; simpanlah hatiku dalam Darah Anak Domba dan tempatkanlah di sisi Putramu. Maka, aku akan memperoleh apa yang aku rindukan dan memiliki apa yang aku harapkan, sebab engkaulah harapan kami. Amin.


sumber : "Of the Dolours of Mary" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 6, 1996; www.cin.org
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Information Network


0 komentar: